BUDAYA MENIKAH

Di Lampung Barat,masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai nilai adat budaya dan tradisi, Adat budayanya pun sangat khas. Sampai saat ini masih dapat kita jumpai Upacara – upaca Adat seperti Upacara Adat dalam menyambut Tamu Agung, Pengangkatan Raja, Nyambai Agung dan Pernikahan.
Diantara bebeberapa Upacara Adat tersebut, yang paling sering kita jumpai adalah Upacara Adat Pernikahan. Dalam hal ini Muda mudi yang dalam bahasa lampung disebut Muli Mekhanai mempunyai peranan sebagai pendukung dan penyemarak kegiatan Upacara Pernikahan tersebut. Terdapat beberapa Tradisi Muli Mekhanai dalam menyemarakkan.
Upacara adat Pernikahan ini salah satunya adalah Tari Selendang/Lempar Selendang, yaitu sebuah tarian menggunakan kain selendang oleh Muli Mekhanai yang diringi oleh musik tradisional Gong dan Rebana. Secara bergantian Muli Mekhanai mencari pasangan hingga terbentuk dua pasangan lalu barulah tarian dimulai, proses pergantian antar Muli Mekhanai satu dengan yang lainnya adalah saat dihentikannya alunan musik ditengah pasangan Muli Mekhanai yang sedang menari lalu mereka masing-masing memilih dan memberikan selendang untuk penari selanjutnya secara berpasangan dan demikian seterusnya.
Namun kini seiring tradisi tersebut berubah dan mengalami pergeseran nilai yang cukup mengkhawatirkan. Tari Selendang yang awalnya adalah tarian selendang yang diikuti alunan musik tradisonal, kini berganti menjadi tak ubahnya sebuah Pesta Dugem, alunan musik tradisonal Gong dan Rebana digantikan menjadi alunan yang mereka sebut dengan House Music dari VCD Player dengan speaker yang disetel sekencang-kencangnya, tarinya pun yang awalnya syarat akan nilai seni tradisional mau tidak mau harus mengikuti alunan House Music tadi, yang masih tersisa hanyalah kain selendang yang fungsinya memang masih sama dengan fungsi awal.
Ironis dan menghawatirkan memang jika melihat fenomena seperti ini terjadi ditengah-tengah masyarakat lampung barat yang masih memegang teguh nilai nilai keluhuran adat budaya.

Globalisasi Dalam Kesenian Tradisional

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa globalisasi merupakan salah satu unsur kuat dan mendasar terhadap terjadinya perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya dan tentunya dalam hal ini kesenian tradisional sebagai salah satu subsistemnya.
Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu.
Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Kalau dahulu di Lampung Barat misalnya hanya ada alat musik gong dan rebana dan belum ada VCD Player maka sekarang sudah ada VCD Player yang lebih canggih, sehingga alat-alat musik tradisional tadi ditinggalkan dan digantikan dengan alat musik yang lebih canggih dan lebih mudah digunakan, Kondisi yang demikian mau tidak mau berpengaruh terhadap kesenian tradisonal kita, Padahal kesenian tradisional kita merupakan bagian dari khasanah kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya.
Sebenarnya perubahan dan pergeseran nilai suatu kebudayaan adalah lumrah adanya, asalkan tidak bergeser terlalu jauh dari sifat dan nilai-nilai aslinya, karena pada dasarnya pun kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karya manusia adalah bergerak secara dinamis. Namun yang terjadi justru berbeda, hampir tidak bisa kita dapati dimana letak nilai-nilai keluhuran budaya pada sebuah pesta Dugem House Music ini.
Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi kesenian tradisional yang merupakan cerminan nilai-nilai masyarakat ini, apakah tetap bersikap konservatif dengan lebih menekankan pada nilai originalitasnya (keaslian) atau lebih global dan memahami dan menerima bahwa kebudayaan memang bergerak terus menerus dan mengalami perubahan seiring berkembangnya zaman terlebih dengan kian derasnya arus globalisasi saat ini. Tentunya cara memandang kesenian tradisional tersebut setiap orang berbeda-beda adanya.
Namun Hendaknya fenomena ini bisa kita jadikan pelajaran dan acuan kita kedepan mengingat tantangan globalisasi dimasa mendatang akan semakin berat bahkan menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan. Dan bukan tidak mungkin dimasa mendatang keberadaan dan eksistensi kesenian tradisional dapat dipandang dengan sebelah mata oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan kesenian modern yang merupakan imbas dari budaya modern.
Tantangan globalisasi ini sejalan dengan apa yang ungkapkan oleh sosiolog asal Kenya Simon Kemoni, mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kemoni, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.
Dan patut pula kita renungkan pokok-pokok pikiran yang di kemukakan oleh Naisbitt (1988), yaitu semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin menjadi kesukuan atau lebih berorientasi ‘kesukuan’ dan berpikir secara lokal, namun bertindak global. Yang dimaksudkan Naisbitt disini adalah bahwa kita harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional. Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, seperti yang dikemukakan Naisbitt di atas, dapat diletakkan dan diposisikan pada masalah-masalah kesenian di Indonesia sebagai kekuatan yang penting dalam era globalisasi ini.

No comments:

Post a Comment