Monday, February 2, 2015

GUNUNG PESAGI

Gunung Pesagi yang terletak di kecamatan Balik Bukit, Liwa, Lampung Barat, adalah gunung tertinggi di Lampung. Ketinggiannya mencapai 2.389 meter.
Di kaki gunung inilah, dipercaya letak Kerajaan Sekala Brak, yang merupakan cikal-bakal keturunan suku Lampung
. Keindahan dan keaslian alam di sekitar Gunung Pesagi masih terjaga hal ini merupakan suatu daya tarik tersendiri.

Dari puncak gunung Pesagi ini pengunjung dapat menikmati keindahan wilayah Lampung Barat, Danau Ranau, Pemukiman Masyarakat OKU, Laut Lepas Krui, dan Laut Lepas Belimbing.

Gunung Pesagi adalah salah satu dari 12 Gunung yang ada di provinsi Lampung. Dari beberapa gunung tersebut, Pesagi adalah gunung yang mempunyai puncak paling tinggi yang ada di Lampung.
Ketinggian puncak dari gunung ini mencapai 2.262 m bila diukur dari atas permukaan laut. Lokasi gunung Pesagi sendiri terletak di kecamatan Balik Liwa, kota Liwa yang masih masuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh para ahli arkeologi kita, gunung Pesagi merupakan tempat dimana Paksi Sekala Brak pernah berdiri. Paksi Sekala Brak adalah kerajaan asli dari Lampung. Penduduk yang berada dibawah kekuasaan Paksi Sekala Brak inilah yang merupakan nenek moyang dari etnis asli Lampung.
Berdasarkan penelitian itu juga diketahui bahwa Paksi Sekala Brak pernah berdiri dalam dua era yang berbeda. Era pertama, yaitu pada saat datangnya pengaruh Hindu dan Budha kedalam lingkungan Paksi Sekala Brak.
Sementara era termuda adalah ketika Islam masuk ke kerajaan yang ada di Lampung ini dan menjadikan Paksi Sekala Brak sebagai bagian dari Kesultanan Nusantara yang salah satu daerah kekuasannya adalah Indonesia.
Biasanya ketika pemimpin dari suatu kerajaan memeluk agama tertentu, maka rakyatnya pun akan mengikuti pemimpinnya. Pola seperti terjadi tidak hanya pada Paksi Sekala Brak saja, namun juga terjadi pada banyak kerajaan di Nusantara.
Catatan mengenai Paksi Sekala Brak bisa ditemukan dalam catatan I Ching (I Ching), seorang Biksu Budha dari Tiongkok yang melakukan perjalanan melanglang dunia, menyebut penduduk Paksi Sekala Brak Dengan sebutan To-Langpohwang.
Dalam bahasa Hokkian, kata To-Langpohwang itu sendiri berarti “orang atas” yang menunjukkan penduduk yang tinggal di wilayah kerajaan yang berdiri diatas gunung Pesagi. Para raja dari Paksi Sekala Brak mempunyai keturunan yang masih hidup hingga sekarang.
Berdasarkan cerita dari masyarakat setempat terdapat tujuh buah sumur yang terletak diatas puncak Gunung Pesagi. Salah satu dari ketujuh sumur tersebut ada yang bisa mengeluarkan aroma harum. Tidak semua orang bisa melihat sumur tersebut meskipun berhasil mencapai puncak gunung Pesagi.
Hanya mereka yang mempunyai hati yang bersih yang bisa menemuinya. Konon katanya bila anda datang dengan niat yang baik, maka akan bisa melihat sumur tersebut dan meminum airnya. Anda boleh percaya atau tidak dengan cerita ini.
Ada beberapa pantangan yang harus dipenuhi ketika mendaki gunung Pesagi. Misalnya dilarang memetik dan mengambil bunga yang ditemui disepanjang perjalanan menuju puncak kecuali untuk keperluan yang dibenarkan. Ada berbagai jenis tanaman yang bisa anda temui disepanjang perjalanan, seperti bunga Anggrek yang tumbuh liar di hutan gunung Pesagi.
Satu lagi pantangan ketika berada di hutan gunung Pesagi adalah dilarang berburu binatang liar. Meskipun anda tidak mempercaya cerita yang berkembang ditengah masyarakat sekitar mengenai gunung Pesagi, sebaiknya tetap mengikuti pantangan yang diberikan. Karena dengan menjaga tanaman dan hewan, anda juga turut dalam upaya pelestarian alam yang tinggal di hutan gunung Pesagi.
Gunung Pesagi sudah mempunyai dua jalur pendakian. Jadi anda tidak perlu repot lagi membuka jalan untuk menuju puncak. Untuk pendakian anda bisa memilih rute dari Pekon Bahway. Rute yang kedua adalah melakukan pendakian dari Pekon Hujung. Baik rute Pekoh Bahway maupun Pekon Hujung memerlukan waktu 12 jam menempuh perjalanan untuk sampai ke puncak gunung Pesagi.
Apabila pada saat melakukan pendakian tiba-tiba turun hujan, maka lama waktu tempuh bisa bertambah. Ini dikarenakan sulitnya medan pada saat hari hujan. Dimana tanah menjadi lunak dan cenderung berlumpur. Membuat pergerakan anda menjadi kurang fleksibel dan tentu saja akan membuat pakaian menjadi kotor akibat lumpur.
Karena lama waktu yang diperlukan untuk melakukan pendakian ke puncak, sebaiknya anda dan rombongan mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum berangkat menuju gunung Pesagi. Sediakan bekal yang cukup dan jangan lupa peralatan P3K.
Karena apabila terjadi kecelakaan ketika sedang melakukan pendakian, maka akan butuh waktu yang sangat lama sekali berjalan menuruni gunung untuk sampai ke desa terdekat. Jadi rencanakan dengan matang sejak jauh hari dan jangan memaksakan diri untuk melakukan pendakian apabila badan tidak fit.
Karena gunung Pesagi merupakan puncak tertinggi yang ada di provinsi Lampung, maka ketika berhasil sampai dipuncak anda akan disajikan pemandangan luas ke daratan rendah yang ada dibawahnya.
Dari puncak gunung ini bisa terlihat permukaan air yang menutupi danau ranau, pemukiman masyarakat, hingga laut yang ada di tepi wilayah Krui dan Belimbing. Pemandangannya begitu indah sekali. Dipenuhi dengan berbagai pepohanan sejauh mata memandang.
Hingga lautan yang terlihat biru gelap dikejauhan. Ditambah lagi suasana yang sejuk dan udara yang bersih. Setelah letih mendaki selama kurang lebih dua jam menuju puncak, anda bisa beristirahat beralaskan rumput hijau ditemani oleh panorama alam gunung Pesagi yang masih terjaga.

Tuesday, January 27, 2015

LAMPUNG BARAT

Lambang Lampung Barat
"Selamat datang di Liwa Kota Berbunga,bersih berbudaya dan penuh kenangan". Demikianlah sambutan hangat kota yang terletak d Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung ini, salah satu kota yang memili kekayaan alam dan budayanya.
Kota liwa terletak di bagian barat provinsi Lampung, dengan kurang lebih 8 jam dari pusat kota Lampung, Tanjung Karang (Bandar Lampung), anda sedah memasuki kota yang kental dengan kebudayaan asli lampung baratnya.
Terdiri dari 25 kecamatan di Lampung Barat,dan Liwa sebagai Ibu kota kabupatennya, menggambarkan dengan jelas betapa luas dan kayanya Lampung Barat ini.
Dengan tata letak kota yang eksotis dan menantang,yaitu terletak di pinggiran bukit barisan (baca disini) kota liwa sangat sering di kunjungi wisatawan - wisatawan baik lokal, luar kota bahkan wisata Asing.
Dengan luas wilayah lebih kurang 3.368,14 km² Setelah pemekaran Kabupaten Pesisir Barat atau 10,6 % dari luas wilayah Provinsi Lampung dan mempunyai garis pantai sepanjang 260 km. Lampung Barat terletak pada koordinat 4o,47',16" - 5o,56',42" lintang selatan dan 103o,35',08" - 104o,33',51" Bujur Timur.
Kabupaten Lampung Barat adalah salah satu pemekaran dari Lampung Utara, yang beribu kota di Liwa. Pemilihan Liwa sebagai Ibu Kota Kabupaten Lampung Barat memang tepat. Beberapa alasan memperkuat pernyataan ini adalah:
  • Tempatnya strategis karena berada di tengah-tengah wilayah Lampung Barat, sehingga untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh daerah Lampung Barat oleh pemerintah kabupaten akan relatif efektif
  • Liwa merupakan persimpangan lalu lintas jalan darat dari berbagai arah yaitu Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung sendiri. Tentang asal usul nama Liwa, menurut cerita orang, berasal dari kata-kata "meli iwa" (bahasa Lampung), artinya membeli ikan. Konon dahulunya Liwa merupakan daerah yang subur, persawahan yang luas, sehingga hasil pertaniannya melimpah. Liwa juga nama salah satu marga dari 84 marga di Lampung.

Sekala Beghak, Asal Muasal

Sekala Beghak (biasa ditulis Skala Brak), adalah kawasan yang sampai kini dapat disaksikan warisan peradabannya. Kawasan ini boleh dibilang kawasan yang “sudah hidup” sejak masa prasejarah. Batu-batu menhir mensitus dan tersebar di sejumlah titik di Lampung Barat. Bukti, ada tanda kehidupan menyejarah.
Sebuah batu prasasti di Bunuk Tenuar, Liwa berangka tahun 966 Saka atau tahun 1074 Masehi, menunjukkan ada jejak Hindu di kawasan tersebut. Bahkan di tengah rimba ditemukan bekas parit dan jalan Zaman Hindu. Ada lagi disebut-sebut bahwa Kenali yang dikenal sekarang sebagai Ibu Kota Kecamatan Belunguh, adalah bekas kerajaan bernama “Kendali” dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut dalam “Kitab Tiongkok Kuno”. Kata “Sapalananlinda” oleh L. C. Westenenk ditafsir sebagai berasal dari kata “Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga orang Cina. Jadi bukan nama orang tapi gelar penyebutan. Buku itu konon juga menyebut, bahwa Kendali itu berada di antara Jawa dan Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut angka tahun antara 454–464 Masehi. Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Inggris oleh Groenevelt (Wikipedia Indonesia, 2007).
Meski belum seluruhnya terbaca, namun dapat disimpulkan: di situ tercatat suatu peradaban panjang. Suatu kawasan tua yang mencatatkan diri dalam sejarah umat manusia. Di wilayah ini pula pernah berdiri sebuah kerajaan. Ada yang menyebut kerajaan tersebut adalah Kerajaan Tulang Bawang, namun bukti-bukti keberadaannya sulit ditemukan. Sedang keyakinan yang terus hidup dan dipertahankan masyarakat khususnya di Lampung Barat serta keturunan mereka yang tersebar hingga seluruh wilayah Sumatera Selatan, menyebutkan Kerajaan Sekala Beghak. Pendapat ini juga disokong oleh keberadaan para raja yang bergelar Sai Batin, hingga bukti-bukti bangunan dan alat-alat kebesaran kerajaan, upacara, dan seni tradisi yang masih terjaga. Masih banyak bukti lain, namun perlu pembahasan terpisah.
Kalau membaca peta Provinsi Lampung sekarang, kisaran lokasi pusat Sekala Beghak berada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat, sebagian Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan Komering Ulu, Provinsi Sumatera Selatan. “Pusat kerajaan” meliputi daerah pegunungan di lereng Gunung Pesagi di daerah Liwa, seputar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit.
Sebagai kesatuan politik Kerajaan Sekala Beghak telah berakhir. Tetapi, sebagai kesatuan budaya (cultural based) keberadaannya turun-temurun diwarisi melalui sejarah panjang yang menggurat kuat dan terbaca makna-maknanya hingga saat ini. Sekala Beghak dalam gelaran peta Tanah Lampung, pastilah tertoreh warna tegas, termasuk sebaran pengaruh kebudayaannya sampai saat ini.
Tata kehidupan berbasis adat tradisi Sekala Beghak juga masih dipertahankan dan dikembangkan. Terutama, Sekala Beghak setelah dalam pengaruh “Empat Umpu” penyebar agama Islam dan lahirnya masyarakat adat Sai Batin. Adat dan tradisi terus diacu dalam tata hidup keseharian masyarakat pendukungnya dan dapat menjadi salah satu sumber inspirasi dan motivasi pengembangan nilai budaya bangsa.
Hasil pembacaan atas segala yang ada dalam masyarakat berkebudayaan Sai Batin di Lampung, memperlihatkan kedudukan dan posisi penting Sekala Beghak sebagai satuan peradaban yang lengkap dan terwariskan. Keberadaan Sekala Beghak tampak sangat benderang dalam peta kebudayaan Sai Batin, sebagai satu tiang sangga utama pembangun masyarakat Lampung. Bahkan, telah diakui, Sekala Beghak sebagai cikal bakal atau asal muasal tertua leluhur “orang Lampung”. Bahkan keberadaan Sekala Beghak, berada dalam kisaran waktu strategis perubahan peradaban besar di Nusantara, dari Hindu ke Islam.
Seperti dikutip Harian KOMPAS, (11 Desember 2006:36), pada abad 15 datang empat kelompok masyarakat yang menduduki sekitar Danau Ranau. Di sebelah barat danau dihuni orang-orang yang datang dari Pagaruyung Sumatera Barat dipimpin Dipati Alam Padang. Sementara itu, tiga kelompok lainnya berasal dari Sekala Beghak. Tiga kelompok orang-orang Sekala Beghak itu dipimpin Raja Singa Jukhu (dari Kepaksian Bejalan Diway), menempati sisi timur danau. Di sisi timur danau pula, kelompok yang dipimpin Pangeran Liang Batu dan Pahlawan Sawangan (berasal dari Kepaksian Nyekhupa) bertempat. Sementara kelompok yang dipimpin Umpu Sijadi Helau menempati sisi utara danau. Empu Sijadi Helau yang disebut-sebut itu bukan Umpu Jadi putra Ratu Buay Pernong, yang menjadi pewaris takhta Buay Pernong. Kemungkinan besar Umpu Sijadi di daerah Ranau tersebut adalah keturunan Kepaksian Pernong yang meninggalkan Kepaksian dan mendirikan negeri baru di Tenumbang kemudian menjadi Marga Tenumbang.
Ketiga kelompok dari Sekala Beghak ini kemudian berbaur dan menempati kawasan Banding Agung, Pematang Ribu, dan Warkuk. Sampai sekarang banyak orang Banding Agung mengaku keturunan Paksi Pak Sekala Beghak. Di samping itu, ada kisah-kisah perpindahan orang Sekala Beghak, sebagaimana ditulis dalam Wikipedia (7/3/07: 04.02), yang dipimpin Pangeran Tongkok Podang, Puyan Rakian, Puyang Nayan Sakti, Puyang Naga Berisang, Ratu Pikulun Siba, Adipati Raja Ngandum, dan sebagainya. Bahkan, daerah Cikoneng di Banten ada daerah yang diberikan kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kepaksian Belunguh atas jasa-jasanya, dan banyak orang Sekala Beghak yang migrasi ke sana atau sebaliknya. Kisah-kisah ini memperkuat suatu kenyataan bahwa Sekala Beghak tidak hanya sebagai sumber muasal secara geografis, melainkan juga sumber kultur masyarakat. Sekala Beghak adalah hulu suatu kebudayaan masyarakat. Dari Sekala Beghak ini juga lahir huruf Lampung yaitu Kaganga. Bagi sebuah kebudayaan, memiliki bahasa dan aksara sendiri merupakan bukti kebesaran masa lalu kebudayaan tersebut. Di Indonesia hanya sedikit kebudayaan yang memiliki aksara sendiri, yaitu Batak, Lampung (Sumatera Selatan), Jawa, Sunda, Bali, dan Bugis. Dan kebudayaan yang memiliki aksara sendiri dapat dikategorikan sebagai kebudayaan unggul. Karena bahasa merupakan alat komunikasi sekaligus simbol kemajuan peradaban.

Semua aksara Nusantara tersebut berasal dari bahasa Palava, yang berinduk pada bahasa Brahmi di India. Bahasa Palava digunakan di India dan Asia Tenggara. Di Nusantara, bahasa ini mengalami penyebaran dan pengembangan, bermula dari bahasa Kawi, sebagai induk bahasa Nusantara. Dari bahasa Kawi menjadi bahasa: Jawa (Hanacaraka), Bali, Surat Batak, Lampung/Sumatera Selatan (Kaganga), dan Bugis. Dari Kerajaan Sekala Beghak yang telah memiliki unsur-unsur “kebudayaan lengkap” ini pulalah “ideologi” Sai Batin dilahirkan dan disebarluaskan. Sampai saat ini, masih banyak yang bisa dibaca dari jejak-jejak yang tertinggal. Baik dari jejak fisik maupun jejak yang tidak kasat mata. Dari legenda, seni budaya, adat tata cara, bahasa lisan tulisan, artefak benda peninggalan, hingga falsafah hidup masih ada runut rujukannya. Dari Sekala Beghak itu di kemudian hari pengaruh budaya dan peradabannya berkembang dan berpengaruh luas ke seluruh Lampung bahkan sampai ke Komering di Sumatera Selatan sekarang. Tidak terhitung kemudian “pendukung budaya”-nya yang tersebar di seluruh Indonesia pada masa kini.